Featured

    Featured Posts

  • dimana kehidupan
  • disitulah jawaban

Daya Hidup Iwan Fals Bagian 3

Jam Tangan Logo Oi Couple
Daya Hidup Iwan Fals Bagian 3. Tak sedikit yang berpendapat bahwa Iwan seolah kehilangan taji-nya setelah Reformasi. Ia tak lagi kritis, katanya, tak lagi galak dan berani. Ia menua dan melunak. Lagu-lagu tentang politik dan ketidakadilan seolah digantikan lagu-lagu cinta. Ia lebih banyak merenung, lebih sedikit berorasi. Sebagian merasa waktunya sudah habis.

Daya Hidup Iwan Fals
Daya Hidup Iwan Fals

Iwan tersenyum simpul saat saya menyampaikan pendapat ini. “Setelah Soeharto turun, kita gonjang-ganjing terus.” Ucapnya. “Diskusi politiknya semakin seram. Kamu lihat saja acara-acara debat dan wawancara politik di televisi. Dulu, enggak ada yang kayak begitu. Saya walau suka mengkritik, enggak pernah tuh menuding.”

“Dan hiburan sudah luar biasa,” lanjut Iwan. “Olahraga ekstrim, sepeda gunung, bungee jumping. Pas zaman Bento, ekspresi orang belum segitunya. Saat itu lebih sederhana: orang dengar lagu, lantas ada pelepasan. Sekarang, lagu kayak Bongkar sudah banyak. Lo dengerin saja omongan orang-orang di jalanan.”

Ia menatap saya lekat-lekat dan melanjutkan. “Apakah sekarang kita perlu lagu yang lebih ‘ganas’ dari Bongkar? Saya juga enggak tahu.” Tuturnya. “Tapi, dia harus memberi pelepasan dan adrenalin yang sama dengan bungee jumping, sepeda gunung, dan olahraga ekstrim. Sama dengan diskusi politik di televisi. Sekarang ini, kalau kita tidak menjawab adrenalin massa, orang bakal bilang lo basi. Apakah kita harus jauh lebih gila lagi, supaya bisa menyedot perhatian mereka?”

Namun, ia mengaku bahwa ia sendiri kerap diminta membuat lagu baru yang ‘keras’. “Banyak yang bilang, ‘Ini zaman orang lagi marah-marah, harusnya lo lebih galak lagi, dong!’ Tapi, saya juga punya sikap. Kalau sekadar untuk aksi dan reaksi, buat apa?”

Lebih jauh lagi, ia merasa tema-tema yang diangkat di lagu seperti Bento dan Bongkar masih relevan hingga kini. “Ceritanya masih sama.” Lanjut Iwan. “Masih tentang Bento, masih tentang wakil rakyat, masih tentang mimpi yang terbeli. Kita masih bisa membicarakan itu. Lantas, mesti dibikin apa lagi? Saya tidak mau terjebak di situ. Lebih baik saya tarik nafas saja.”

Ia tersenyum lebar, seolah-olah baru saja melepas beban berat. “Saya masih percaya pada ketenangan.” Tuturnya. “Itu sumber kekuatan.”

Ketika ia merekam album terbarunya, SATU, ia sempat berbeda pendapat dengan produsernya, Steve Lilywhite. “Dia bertanya pada saya, ‘Apa yang penting dibicarakan sekarang?’” kisah Iwan. “Dia bilang, kita harus mengangkat soal peralihan kekuasaan, soal Presiden baru, soal protes. Tapi saya jawab, enggak begitu. Cinta tetap penting. Harmoni, daya hidup, itu yang penting.”

“Bukan politik?” tanya saya.

Iwan menggeleng. “Saya merasa seperti melempar garam di lautan.” Tuturnya. “Buat apa? Semua orang juga sudah ngomongin itu. Memang, politik itu penting. Tapi, ada lagi yang lebih penting. Pikiran baik lebih penting. Cinta lebih penting.”

Album kolaboratif dengan musisi-musisi besar seperti NOAH, Geisha, dan d’Masiv itu dirilis tahun 2015 dan sukses – walau Iwan sendiri mengaku tak menyadari kesuksesan album tersebut. “Saya dapat kabar, video klip lagu saya ramai.” Kisahnya sembari terkekeh. “Tapi, saya enggak lihat di TV. Rupanya sekarang lebih banyak di Youtube, ya?”

Saya mengangguk. Tahun lalu, ia merekam ulang lagu Manusia Setengah Dewa dengan dua musisi asal Afrika Selatan – Simphiwe Dana dan Yasiin Bey. “Saya malah belum pernah ketemu mereka.” Ujar Iwan. “Semuanya lewat email. Canggih, kan?”


“Musik itu penggalan waktu. Dan dalam waktu, kita bermain. Kita isi dengan kebaikan, kita isi dengan kejahatan. Ambisi saya sekarang adalah menghayati jalannya waktu.

“Bisa saja saya menghilang. Enggak ada di TV, enggak kelihatan. Tapi, percayalah: saya masih ada di musik. Saya enggak akan meninggalkan musik. Musik sudah terlalu banyak memberi bagi saya. Saya tidak mungkin mengkhianati itu. Bentuknya bisa macam-macam. Tapi, soal yang hakiki...”

Adzan Maghrib memecah percakapan kami. Iwan menengadah dan mengangguk. Saya paham – ia meminta saya secara halus untuk menyelesaikan wawancara. “Untuk apa saya konser, apabila saya harus mengkhianati nurani saya? Mending saya masak di rumah, nulis, melukis.”

Ia terdiam lama. “Jadi, memang... Saya semakin tenang belakangan ini.”


Keesokan harinya setelah wawancara kami, Iwan berangkat pagi-pagi buta ke Palembang untuk melanjutkan tur. Ia melatih 15-20 lagu yang sama, berangkat dengan orang-orang yang sama, dan merajai panggung seperti biasa.

Seperti Sisyphus, ia harus rela melihat batu yang ia dorong ke puncak gunung menggelinding lagi ke bawah. Seperti Sisyphus, ia harus rela memulai lagi dari awal, seolah-olah semua itu hal yang lumrah dan hakiki. Seperti Sisyphus, ia harus belajar menerima dan hidup apa adanya. Pada akhirnya, daya hidup harus menang dari daya mati. (*)

Sebelumnya baca bagian 1 disini  dan bagian 2 disini !


oleh : Raka Ibrahim
foto : George Mandagie

Sumber : Ruang



Baca Juga Artikel Fals dibawah ini

author

dwisTROi Group

Hallo bos, kami dari dwisTROi Group. ini adalah blog sederhana dari kami.

kami dapat dihubungi lewat email info@dwistroi.com

Update otomatis dari blog ini

Komentar disini

www.CodeNirvana.in

Powered by Blogger.
Blog dwisTROi blog online sejak 2007 | Template By Code Nirvana