Featured

    Featured Posts

  • dimana kehidupan
  • disitulah jawaban

Iwan Fals Jadi Inspirasi Super Hero

Iwan Fals Jadi Inspirasi Nama Tokoh Super Hero. Siapa tak kenal Iwan Fals? Musisi legendaris Indonesia pelantun Oemar Bakri itu lho :) . Tahu gak bos? Baru-baru ini nama Iwan Fals dijadikan inspirasi untuk nama tokoh super hero di komik THE UNEXPECTED karya om Steve Orlando lho. Komik ini bagian dari New Age Of DC Heroes.

Tanpa bertele-tele langsung saja ya bos.

Siapakah nama toko super hero itu? adalah Janet Fals nama tokoh tersebut. Paramedic yang jantungnya digantikan benda bernama CONFLICT ENGINE. Tiap hari si Janet Fals harus mengajak orang untuk berkelahi agar dia tidak mati.

Komik ini diinfokan akan dirilis pada 6 Juni 2018 mendatang dengan harga $2.99

sumber : twitter Steve Orlando

Iwan Fals Jadi Inspirasi Nama Tokoh Super Hero
Iwan Fals Jadi Inspirasi Nama Tokoh Super Hero

Iwan Fals Jadi Inspirasi Nama Tokoh Super Hero
Iwan Fals Jadi Inspirasi Nama Tokoh Super Hero

Daya Hidup Iwan Fals Bagian 3

Daya Hidup Iwan Fals Bagian 3. Tak sedikit yang berpendapat bahwa Iwan seolah kehilangan taji-nya setelah Reformasi. Ia tak lagi kritis, katanya, tak lagi galak dan berani. Ia menua dan melunak. Lagu-lagu tentang politik dan ketidakadilan seolah digantikan lagu-lagu cinta. Ia lebih banyak merenung, lebih sedikit berorasi. Sebagian merasa waktunya sudah habis.

Daya Hidup Iwan Fals
Daya Hidup Iwan Fals

Iwan tersenyum simpul saat saya menyampaikan pendapat ini. “Setelah Soeharto turun, kita gonjang-ganjing terus.” Ucapnya. “Diskusi politiknya semakin seram. Kamu lihat saja acara-acara debat dan wawancara politik di televisi. Dulu, enggak ada yang kayak begitu. Saya walau suka mengkritik, enggak pernah tuh menuding.”

“Dan hiburan sudah luar biasa,” lanjut Iwan. “Olahraga ekstrim, sepeda gunung, bungee jumping. Pas zaman Bento, ekspresi orang belum segitunya. Saat itu lebih sederhana: orang dengar lagu, lantas ada pelepasan. Sekarang, lagu kayak Bongkar sudah banyak. Lo dengerin saja omongan orang-orang di jalanan.”

Ia menatap saya lekat-lekat dan melanjutkan. “Apakah sekarang kita perlu lagu yang lebih ‘ganas’ dari Bongkar? Saya juga enggak tahu.” Tuturnya. “Tapi, dia harus memberi pelepasan dan adrenalin yang sama dengan bungee jumping, sepeda gunung, dan olahraga ekstrim. Sama dengan diskusi politik di televisi. Sekarang ini, kalau kita tidak menjawab adrenalin massa, orang bakal bilang lo basi. Apakah kita harus jauh lebih gila lagi, supaya bisa menyedot perhatian mereka?”

Namun, ia mengaku bahwa ia sendiri kerap diminta membuat lagu baru yang ‘keras’. “Banyak yang bilang, ‘Ini zaman orang lagi marah-marah, harusnya lo lebih galak lagi, dong!’ Tapi, saya juga punya sikap. Kalau sekadar untuk aksi dan reaksi, buat apa?”

Lebih jauh lagi, ia merasa tema-tema yang diangkat di lagu seperti Bento dan Bongkar masih relevan hingga kini. “Ceritanya masih sama.” Lanjut Iwan. “Masih tentang Bento, masih tentang wakil rakyat, masih tentang mimpi yang terbeli. Kita masih bisa membicarakan itu. Lantas, mesti dibikin apa lagi? Saya tidak mau terjebak di situ. Lebih baik saya tarik nafas saja.”

Ia tersenyum lebar, seolah-olah baru saja melepas beban berat. “Saya masih percaya pada ketenangan.” Tuturnya. “Itu sumber kekuatan.”

Ketika ia merekam album terbarunya, SATU, ia sempat berbeda pendapat dengan produsernya, Steve Lilywhite. “Dia bertanya pada saya, ‘Apa yang penting dibicarakan sekarang?’” kisah Iwan. “Dia bilang, kita harus mengangkat soal peralihan kekuasaan, soal Presiden baru, soal protes. Tapi saya jawab, enggak begitu. Cinta tetap penting. Harmoni, daya hidup, itu yang penting.”

“Bukan politik?” tanya saya.

Iwan menggeleng. “Saya merasa seperti melempar garam di lautan.” Tuturnya. “Buat apa? Semua orang juga sudah ngomongin itu. Memang, politik itu penting. Tapi, ada lagi yang lebih penting. Pikiran baik lebih penting. Cinta lebih penting.”

Album kolaboratif dengan musisi-musisi besar seperti NOAH, Geisha, dan d’Masiv itu dirilis tahun 2015 dan sukses – walau Iwan sendiri mengaku tak menyadari kesuksesan album tersebut. “Saya dapat kabar, video klip lagu saya ramai.” Kisahnya sembari terkekeh. “Tapi, saya enggak lihat di TV. Rupanya sekarang lebih banyak di Youtube, ya?”

Saya mengangguk. Tahun lalu, ia merekam ulang lagu Manusia Setengah Dewa dengan dua musisi asal Afrika Selatan – Simphiwe Dana dan Yasiin Bey. “Saya malah belum pernah ketemu mereka.” Ujar Iwan. “Semuanya lewat email. Canggih, kan?”


“Musik itu penggalan waktu. Dan dalam waktu, kita bermain. Kita isi dengan kebaikan, kita isi dengan kejahatan. Ambisi saya sekarang adalah menghayati jalannya waktu.

“Bisa saja saya menghilang. Enggak ada di TV, enggak kelihatan. Tapi, percayalah: saya masih ada di musik. Saya enggak akan meninggalkan musik. Musik sudah terlalu banyak memberi bagi saya. Saya tidak mungkin mengkhianati itu. Bentuknya bisa macam-macam. Tapi, soal yang hakiki...”

Adzan Maghrib memecah percakapan kami. Iwan menengadah dan mengangguk. Saya paham – ia meminta saya secara halus untuk menyelesaikan wawancara. “Untuk apa saya konser, apabila saya harus mengkhianati nurani saya? Mending saya masak di rumah, nulis, melukis.”

Ia terdiam lama. “Jadi, memang... Saya semakin tenang belakangan ini.”


Keesokan harinya setelah wawancara kami, Iwan berangkat pagi-pagi buta ke Palembang untuk melanjutkan tur. Ia melatih 15-20 lagu yang sama, berangkat dengan orang-orang yang sama, dan merajai panggung seperti biasa.

Seperti Sisyphus, ia harus rela melihat batu yang ia dorong ke puncak gunung menggelinding lagi ke bawah. Seperti Sisyphus, ia harus rela memulai lagi dari awal, seolah-olah semua itu hal yang lumrah dan hakiki. Seperti Sisyphus, ia harus belajar menerima dan hidup apa adanya. Pada akhirnya, daya hidup harus menang dari daya mati. (*)

Sebelumnya baca bagian 1 disini  dan bagian 2 disini !


oleh : Raka Ibrahim
foto : George Mandagie

Sumber : Ruang



Daya Hidup Iwan Fals Bagian 2

Daya Hidup Iwan Fals Bagian 2. Belakangan ini, tuturnya, ia belajar banyak. Ia sempat mencoba memecahkan batu bersama pekerja yang membangun jalan di dekat rumahnya. Iwan terkekeh mengenang pengalaman itu. “Saya jadi ingat cerita Sisyphus,” kisah Iwan. “Dia orang yang mendorong batu sampai ke atas gunung, dan batu itu langsung jatuh lagi ke bawah. Tapi, dia harus mengulang dan angkat batu itu lagi.”


Daya Hidup Iwan Fals
Daya Hidup Iwan Fals



Kisah yang dipopulerkan lagi oleh filsuf Albert Camus itu membuat Iwan terhenyak. “Proses kreatif juga seperti itu.” Terangnya. “Saya bikin beratus-ratus lagu, dan dari dulu sampai sekarang masih do-re-mi juga. Tapi, saya bikin lagi!” Iwan tertawa terbahak-bahak. “Apa bedanya sama Sisyphus? Apa bedanya sama orang yang mecahin batu dan bikin jalan? Apa bedanya sama orang yang bertani, panen, lalu harus bertani lagi?”



Semua orang menjalani siklusnya masing-masing. “Kapan selesainya? Tentu kalau ajal sudah tiba.” Ucap Iwan. “Selama itu belum terjadi, enggak ada urusannya kita menyerah. Kalau harus diguling lagi batu itu dari bawah, maka angkatlah. Itu yang harus dilakukan. Karena kita punya anak, kita punya keluarga. Kalau kita loyo, mau bagaimana?”

“Meminjam istilah Rendra, daya mati sama kuatnya dengan daya hidup.” Lanjut Iwan. “Orang yang berpikiran berbeda akan bilang, ‘Buat apa gue ambil batu lagi? Percuma.’ Ya sudah, selesai saja hidup dia. Dia tidak perlu angkat batu lagi. Tapi dia habis. Dia pengecut.”

Tahun ini, Iwan akan berusia 56 tahun. Meski ia masih mengajar karate setiap pekan, ia mengaku tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Ia sudah tak bisa salto, tak bisa mencium lutut. Ia juga kian akrab dengan sakit pinggang, encok, dan masuk angin.  “Mensyukuri usia 56 tahun ini tantangan bagi saya.” Ucapnya sembari terkekeh.

Apabila ia tak bisa bersyukur, ujar Iwan, tak ada gunanya lagi hidup. Ia berpura-pura mengambil pistol dan menarik pelatuk imajiner itu di samping kepalanya sendiri.


Galang Rambu Anarki, anak pertama Iwan, punya tokoh favorit bernama Gringgrong. Tokoh imajiner itu adalah “seorang jagoan ‘kayak Tarzan’ yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh.”


Pada tanggal 24 April 1997, Galang pulang ke rumah sekitar pukul 11 malam setelah latihan band. Ia pamit tidur, masuk ke kamarnya, dan ditemukan meninggal dunia lima jam kemudian. Pada Andreas Harsono, Iwan mengaku bahwa meninggalnya Galang “menjadi ‘api’ buat dirinya dalam bermusik.”


Harsono menulis: “Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, ‘Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum... Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum...’”

Pada tahun 1981, ia dikontrak label besar Musica Studios dan melepas album Sarjana Muda. Lagu andalan album tersebut, nomor country berjudul Oemar Bakri, berkisah tentang pegawai negeri yang gajinya “seperti dikebiri.” Setahun kemudian, kelahiran Galang disambut dengan kenaikan harga bahan bakar. Lantas, Iwan merilis lagu folk murung berjudul sama di album Opini, dan ia mulai dikenal sebagai penyanyi yang kritis.


Namun, meski Iwan menerima julukan tersebut dengan lapang dada, ia sendiri mengaku tak pernah berusaha menjadi penyanyi yang politis. “Saya enggak punya niatan untuk mengkritik juga.” Tuturnya. “Selama di zaman Orde Baru, saya cuma merasa bosan. Apa enggak ada orang lain di Indonesia yang bisa jadi pemimpin kecuali Soeharto? Tapi, sama sekali enggak ada kebencian. Sebagai musisi, tugas saya cuma curhat. Yang penting saya mengeluarkan apa yang ada – tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-kurangi.” Baginya, bernyanyi tentang cinta dan kehidupan sama sahnya dengan bernyanyi tentang ketidakadilan.

“Tapi, saya bisa bertanya balik: apa ada orang yang lepas dari politik?” tanyanya. “Saya memang tidak suka melihat orang ditindas, karena saya sendiri tidak mau ditindas. Sekarang, siapa yang tidak tersentuh kalau melihat ketidakadilan? Mana ada orang yang bercita-cita menjadi blangsak, menjadi bajingan?” Ia menghela nafas panjang dan menggaruk-garuk telapak tangannya. “Saya juga enggak tahu apakah pikiran saya benar atau salah. Tapi, ini negeri bebas. Ini negeri hukum. Saya bebas bersuara.”

Suaranya semakin lantang di Senayan, tanggal 23 Juni 1990. Saat itu, Iwan bergabung dalam kelompok bernama Kantata Takwa – sebuah supergroup beranggotakan Iwan, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, Setiawan Djody, dan banyak musisi kelas kakap lain. Sebelumnya, sebagian dari kelompok tersebut sempat merilis album Swami I yang menghasilkan dua lagu klasik: Bento dan Bongkar. Hingga kini, dua lagu itu masih dikenang sebagai titik puncak perlawanan politiknya.

Ketika Indonesia dipimpin oleh diktator dan tentara sibuk membantai rakyatnya sendiri, Iwan memimpin lebih dari 100 ribu orang dalam koor massal: “O o ya, o ya, o ya, bongkar!”


foto : George Mandagie

Daya Hidup Iwan Fals Bagian 1


Daya Hidup Iwan Fals Bagian 1. Kita semua kenal beliau. Dari pengamen di pinggir jalan, dari pendemo di alun-alun, dari nyanyian lembutnya di kaset dan radio. Kita semua hafal setidaknya satu-dua lagunya. Entah lagu tentang anak kecil yang berkelahi dengan waktu, tentang kelahiran yang disambut naiknya harga BBM, atau tentang pengusaha tamak, melawan penindasan, dan pesawat tempur. Kita semua tumbuh dewasa mendengar suaranya, petikan gitarnya, wejangannya.


Daya Hidup Iwan Fals
Daya Hidup Iwan Fals

“Mungkin saat itu jodoh saja.” Tuturnya. “Umur saya masih muda, baru lulus kuliah, ada teman-teman yang demo dan ditangkapi. Saya ingin bersuara. Ingin menyanyi tentang apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan. Lantas tiba-tiba berkembang begitu saja.”

Iwan Fals menjabat tangan saya erat-erat dan tersenyum lebar. Ia baru selesai latihan di studio rumahnya, mempersiapkan 15-20 lagu untuk konser yang biasanya berlangsung lebih dari dua jam. Percakapan kami sempat tertunda selagi menunggu beliau rehat dan sembahyang. “Besok pagi berangkat lagi, mas.” Ungkapnya. “Konser.”

Saya mengangguk. “Masih kuat, mas?”

Ia tergelak. “Dijalani saja.”

Leuwinanggung mendung berat sore itu. Masih ada waktu untuk mengobrol panjang sebelum Maghrib tiba. Iwan bersandar di kursi dan membersihkan sisa air wudhu dari kerah bajunya. “Kita ngobrol santai saja, ya?” Ucapnya. “Sambil ngopi, mengalir saja.” Tak ada yang berani membantah. Ia manusia setengah dewa.

Iwan lahir di Jakarta, 3 September 1961. Bapaknya seorang kolonel, Ibunya pekerja sosial. Keluarga kecil itu sempat tinggal di Arab Saudi, sebelum akhirnya menetap lama di Bandung. Di sanalah Iwan muda mulai bermusik. Ia mengamen di jalanan Bandung untuk melatih kemampuannya mengarang lagu, dan menajamkan kepekaan sosialnya.

“Orang tua saya cukup membuka pikiran dan hatinya untuk saya berekspresi.” Kenang Iwan. “Jadi, enggak ada rasa takut tentang apapun. Mereka cuma bilang ke saya, ‘Yang penting kamu jangan melanggar hukum.’” Selebihnya, terang Iwan, ia dibebaskan untuk bersuara, berpikir, dan beropini. Perangai yang terbilang langka bagi keluarga di zaman itu.

Sekitar tahun 1984, ia berkenalan dengan penyair W.S Rendra. “Saya dikasih tahu: rupanya ada hukum alam, hukum sosial, dan hukum diri sendiri. Dia mengingatkan saya, ‘kalau lo langgar hukum alam, akan ada bencana alam. Kalau lo langgar hukum sosial, lo dipenjara. Kalau lo melanggar hukum diri sendiri, lo sakit.’” Wejangan Rendra membuat Iwan teringat pada nasihat orang tuanya. Rupanya, tiga prinsip itulah ‘hukum’ yang mereka maksud.

“Kalau saya lupa, saya kembali ke situ.” Tutur Iwan. “Saya ingat-ingat lagi. Prinsip itu yang menolong saya juga. Ada sesuatu yang bisa jadi acuan.”


“Sebenarnya, keyakinan saya sederhana.” Ucap Iwan. Ia mengingatkan saya tentang tiga hukum yang dituturkan Rendra, lantas geleng-geleng kepala. “Tapi, begitu saya nonton televisi, baca koran, dengar cerita teman... Kok susah, ya, menerapkannya?”

“Mungkin itu makna dari hidup.” Lanjutnya. “Memperjuangkan hal-hal yang sederhana.”

Iwan tersentak dari lamunannya. Ia kembali mempersilakan saya mencicipi tape goreng yang masih hangat di balik tudung saji. Saya mengangguk dengan sungkan, dan menunggu beliau lanjut berbicara.

“Begitu saya lihat berita di mana-mana, saya juga bingung. Saya harus bagaimana? Akhirnya jadi syair, jadi lagu.” Tuturnya. “Meminjam istilah Rendra, saya harap lagu itu menginspirasi daya hidup. Toh, mau bagaimanapun juga, kematian sudah pasti. Kita tinggal bicara tentang kehidupan ini.” Menulis lagu, baginya, adalah cara melawan perasaan putus asa. Bagi dirinya sendiri, dan siapapun yang kebetulan mendengar.

“Yang penting, bagaimana kita hidup dan menginspirasi orang tanpa dia sadar kalau kita sedang memberi inspirasi pada dia.” Lanjut Iwan. “Supaya harmonis saja, supaya ada keseimbangan. Tidak ada pretensi apa-apa.”



foto : George Mandagie

Konser Iwan Fals 55 Tahun Pramuka - Simponi Untuk Pahlawan

Konser Iwan Fals dalam rangka peringatan 55 Tahun Pramuka sekaligus peringatan Hari Pahlawan bersama Iwan Fals dan band.

Tema :
Simponi Untuk Pahlawan



Lapangan Makodam V Brawijaya Surabaya
Minggu 6 November 2016 pukul 19.00 WIB

Gratis


Selamat Ulang Tahun Iwan Fals ke-55

Bulan September ini bang Iwan akan ber-Ulang Tahun yang ke-55 tahun.
3 September 1961

Tetap Semangat dan Tetap Berkarya bang Iwan .



Berikut, sedikit corat-coret yang bisa dwisTROi buat sebagai ucapan Ulang Tahun untuk Bang Iwan.
Silahkan bisa kamu copy, dan bisa dipakai untuk DP BBM, profile FB, whatsapp dsb.

Semoga bermanfaat.


Selamat Ulang Tahun Iwan Fals ke-55
Ulang Tahun Iwan Fals ke-55

Selamat Ulang Tahun Iwan Fals yang ke-55
Ulang Tahun Iwan Fals

www.CodeNirvana.in

Powered by Blogger.
Blog dwisTROi blog online sejak 2007 | Template By Code Nirvana