Daya Hidup Iwan Fals Bagian 2. Belakangan ini, tuturnya, ia
belajar banyak. Ia sempat mencoba memecahkan batu bersama pekerja yang
membangun jalan di dekat rumahnya. Iwan terkekeh mengenang pengalaman itu.
“Saya jadi ingat cerita Sisyphus,” kisah Iwan. “Dia orang yang mendorong batu
sampai ke atas gunung, dan batu itu langsung jatuh lagi ke bawah. Tapi, dia
harus mengulang dan angkat batu itu lagi.”
|
Daya Hidup Iwan Fals |
Kisah yang dipopulerkan lagi oleh filsuf Albert
Camus itu membuat Iwan terhenyak. “Proses kreatif juga seperti itu.” Terangnya.
“Saya bikin beratus-ratus lagu, dan dari dulu sampai sekarang masih do-re-mi
juga. Tapi, saya bikin lagi!” Iwan tertawa terbahak-bahak. “Apa bedanya sama
Sisyphus? Apa bedanya sama orang yang mecahin batu dan bikin jalan? Apa bedanya
sama orang yang bertani, panen, lalu harus bertani lagi?”
Semua orang menjalani siklusnya masing-masing.
“Kapan selesainya? Tentu kalau ajal sudah tiba.” Ucap Iwan. “Selama itu belum
terjadi, enggak ada urusannya kita menyerah. Kalau harus diguling lagi batu itu
dari bawah, maka angkatlah. Itu yang harus dilakukan. Karena kita punya anak,
kita punya keluarga. Kalau kita loyo, mau bagaimana?”
“Meminjam istilah Rendra, daya mati sama kuatnya
dengan daya hidup.” Lanjut Iwan. “Orang yang berpikiran berbeda akan bilang,
‘Buat apa gue ambil batu lagi? Percuma.’ Ya sudah, selesai saja hidup dia. Dia
tidak perlu angkat batu lagi. Tapi dia habis. Dia pengecut.”
Tahun ini, Iwan akan berusia 56 tahun. Meski ia
masih mengajar karate setiap pekan, ia mengaku tubuhnya sudah tidak sekuat
dulu. Ia sudah tak bisa salto, tak bisa mencium lutut. Ia juga kian akrab
dengan sakit pinggang, encok, dan masuk angin. “Mensyukuri usia 56 tahun
ini tantangan bagi saya.” Ucapnya sembari terkekeh.
Apabila ia tak bisa bersyukur, ujar Iwan, tak ada
gunanya lagi hidup. Ia berpura-pura mengambil pistol dan menarik pelatuk
imajiner itu di samping kepalanya sendiri.
Galang Rambu Anarki, anak pertama Iwan, punya
tokoh favorit bernama Gringgrong. Tokoh imajiner itu adalah “seorang jagoan
‘kayak Tarzan’ yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh.”
Pada tanggal 24 April 1997, Galang pulang ke rumah
sekitar pukul 11 malam setelah latihan band. Ia pamit tidur, masuk ke kamarnya,
dan ditemukan meninggal dunia lima jam kemudian. Pada Andreas Harsono, Iwan
mengaku bahwa meninggalnya Galang “menjadi ‘api’ buat dirinya dalam bermusik.”
Harsono menulis: “Ketika Iwan memandikan jasad
anaknya, dia berujar berkali-kali, ‘Galang, kamu sudah selesai, Papa yang
belum... Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum...’”
Pada tahun 1981, ia dikontrak label besar Musica
Studios dan melepas album Sarjana Muda. Lagu andalan album tersebut, nomor
country berjudul Oemar Bakri, berkisah tentang pegawai negeri yang gajinya
“seperti dikebiri.” Setahun kemudian, kelahiran Galang disambut dengan kenaikan
harga bahan bakar. Lantas, Iwan merilis lagu folk murung berjudul sama di album
Opini, dan ia mulai dikenal sebagai penyanyi yang kritis.
Namun, meski Iwan menerima julukan tersebut dengan
lapang dada, ia sendiri mengaku tak pernah berusaha menjadi penyanyi yang
politis. “Saya enggak punya niatan untuk mengkritik juga.” Tuturnya. “Selama di
zaman Orde Baru, saya cuma merasa bosan. Apa enggak ada orang lain di Indonesia
yang bisa jadi pemimpin kecuali Soeharto? Tapi, sama sekali enggak ada kebencian.
Sebagai musisi, tugas saya cuma curhat. Yang penting saya mengeluarkan apa yang
ada – tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-kurangi.” Baginya, bernyanyi
tentang cinta dan kehidupan sama sahnya dengan bernyanyi tentang ketidakadilan.
“Tapi, saya bisa bertanya balik: apa ada orang
yang lepas dari politik?” tanyanya. “Saya memang tidak suka melihat orang
ditindas, karena saya sendiri tidak mau ditindas. Sekarang, siapa yang tidak
tersentuh kalau melihat ketidakadilan? Mana ada orang yang bercita-cita menjadi
blangsak, menjadi bajingan?” Ia menghela nafas panjang dan menggaruk-garuk
telapak tangannya. “Saya juga enggak tahu apakah pikiran saya benar atau salah.
Tapi, ini negeri bebas. Ini negeri hukum. Saya bebas bersuara.”
Suaranya semakin lantang di Senayan, tanggal 23
Juni 1990. Saat itu, Iwan bergabung dalam kelompok bernama Kantata Takwa –
sebuah supergroup beranggotakan Iwan, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo,
Setiawan Djody, dan banyak musisi kelas kakap lain. Sebelumnya, sebagian dari
kelompok tersebut sempat merilis album Swami I yang menghasilkan dua lagu
klasik: Bento dan Bongkar. Hingga kini, dua lagu itu masih dikenang sebagai
titik puncak perlawanan politiknya.
Ketika Indonesia dipimpin oleh diktator dan
tentara sibuk membantai rakyatnya sendiri, Iwan memimpin lebih dari 100 ribu
orang dalam koor massal: “O o ya, o ya, o ya, bongkar!”