Iwan Fals - Kantata Takwa |
Baca dulu Kantata Takwa : Ketika Iwan Fals Masih Mirip Che Guevara 1 disini
Masihkah relevan?
Asumsi yang digunakan sebagai landasan untuk membangun tema Kantata adalah model perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru dekade 1990-an. Pada dekade itu, konsolidasi ideologi Orde Baru sudah rampung dan kekuasaan negara dioperasikan hingga ke mana-mana. Operasi itu berasal dari sumber tunggal yang bernama Soeharto. Orientasi kekuasaan adalah Soeharto, karena sudah tak ada lagi lawan politik yang relatif sejajar dengannya dengan kekalahan penentang-penentang seangkatannya (atau yang sedikit di bawahnya) dan semua yang berhasil mendekati pusat kekuasaan adalah yang paling dekat secara ideologis dengannya. Mesin penggerak birokrasi dan kemasyarakatan juga berpusar pada orientasi serupa, sesudah negara mengalami korporatisasi seperti yang biasa terjadi pada negara-negara fasis. Maka kekuasaan Soeharto menjadi pemegang kekuasaan yang omnipresent karena seluruh operasi kekuasaan berorientasi kepadanya.
Kantata Takwa bicara dengan sebuah asumsi semacam itu. Mesin operasi kekuasaan menjangkau bahkan hingga ke tempat-tempat yang musykil seperti mimpi manusia. Maka mencatat mimpi pun menjadi sangat penting demi melawan kekuasaan yang semengerikan itu (sebelum bermimpi dilarang, ungkapan yang akrab pada dekade itu). Lihat misalnya bayangan manusia bertopeng gas yang menembaki orang di hutan-hutan atau pun ketika ketika Iwan Fals bermimpi giginya dicabuti oleh tentara agar ia tak bisa bernyanyi lagi. Apatah lagi pengadilan politik terhadap estetika seperti yang dialami oleh Si Burung Merak, Rendra. Pengadilan sebagai lembaga yang seharusnya suci dipenuhi oleh kemunafikan. Tampak sekali film ini menunjukkan gesture jijik terhadap lembaga pengadilan.
Tapi masihkah kekuasaan serbamaha yang tunggal macam tuhan itu beroperasi dengan cara seperti yang dialami dan dibaca oleh seniman dekade lalu ini? Inilah pertanyaan yang mengguyahkan gagasan dasar film ini ketika ia lahir sebagai produk tahun 2008. Indonesia pascareformasi justru ditandai dengan fragmentasi luar biasa dalam berbagai usaha meraih dan mempertahankan kekuasaan. Operasinya dalam kehidupan sosial budaya juga demikian beragam dengan agenda yang tak tampak beraturan. Perlawanan ideologi dan politik dalam arena kekuasaan yang pernah menjadi begitu penting, mungkin kini kalah penting dibandingkan dengan perjuangan untuk menampilkan sebuah ideologi pinggiran dalam sebuah film mainstream –yang kemudian menghasilkan pembicaraan publik mengenai substansinya.
Agenda politik dalam kesenian mungkin kini lebih cair dan tak semata melawan atau tunduk pada penyelewengan kekuasaan. Perjuangan politik mungkin kini agak tak disadari oleh para seniman –sekalipun aneh rasanya, ada seniman yang tak sadar akan implikasi politis karya mereka sendiri. Artikulasi juga sudah berubah seiring agenda untuk mengelak dari jebakan-jebakan pengulangan bentuk. Arena pertarungan juga sudah tak lagi pada tingkat pembentukan wacana dan narasi besar yang akan menghela seluruh gerbong bernama negara bangsa, tetapi menghadirkan cerita-cerita kecil guna melakukan semacam gerilya budaya yang secara tiba-tiba bisa menyeruak dalam pembicaraan publik yang serius, atau malah jadi kebijakan.
Maka ketika Kantata Takwa meletakkan asumsi adanya satu despot yang omnipresent dan beroperasi dari sumber yang tunggal, ia terasa menjadi sebuah artefak sejarah politik. Ia hanya mudah dikenali sebagai sebuah perlawanan terhadap model kekuasaan Soeharto dan sulit diacu pada model persoalan kekuasaan sekarang ini. Soalnya sesederhana bahwa panggung sudah berubah dan pentas yang dimainkan adalah lakon lama.
Demikian pula halnya dengan ungkapan jilbab sebagai bentuk perlawanan. Jilbab saat ini sudah bertransformasi, tak lagi mewakili identitas ketakwaan seperti yang ingin disampaikan oleh film ini. Jilbab, bahkan di beberapa tempat, kini menjadi representasi dari represi ketika sekolah-sekolah mewajibkan para pelajar perempuan berjilbab, bahkan termasuk mereka yang beragama non-Islam. Maka ungkapan-ungkapan perlawanan simbolis yang diajukan oleh Kantata Takwa sesungguhnya memang tertinggal di dekade 1990-an, Indonesia sebelum reformasi.
Ungkapan
Apakah strategi estetika Kantata masih bisa bekerja dalam panggung yang sudah berubah ini? Sebagai sebuah karya eksperimental, Kantata cukup menjanjikan. Seperti dikatakan di atas, film ini justru menghadirkan inkoherensi dalam kosa gambar dan cara ungkap.
Dalam film model ini, sebenarnya penonton diminta untuk membuat rambu-rambu personalnya sendiri. Dengan demikian ia akan bisa mengacu kepada pengalaman-pengalaman subjektif penonton. Maka terciptalah sebuah pemaknaan arbitrer pada karya ini. Dengan model pembacaan subjektif seperti ini, diharapkan penonton memberi makna baru sama sekali yang bahkan berlainan dengan niatan para kreator.
Namun sayangnya Kantata Takwa tidak diniatkan untuk menjadi karya seperti itu (sekalipun mungkin seharusnya dibaca begitu). Seperti sudah dikatakan di atas, tema film ini koheren sekali. Acuan simbol Kantata Takwa kelewat jelas, bahkan vulgar. Film ini menggunakan estetika puisi pamflet Rendra dan teriakan lagu jalanan Iwan Fals yang terasa ”marah” di awal dekade 1990-an, bukan Iwan Fals yang penuh canda seperti di awal masa karirnya. Kemarahan dan munculnya gesture jijik sesekali dalam film ini serasa tak memberi ruang cukup buat penonton.
Namun untunglah sutradara film ini cukup jeli menangkap figur Iwan Fals. Ruang lebih luas diberikan sesekali oleh figur ini. Perhatikan adegan diskusi mengenai rencana pembentukan grup musik Kantata Takwa. Dalam footage diskusi yang singkat itu, Iwan menyatakan keengganannya jika kelompok ini ”berdakwah” dalam pengertian yang sempit. Iwan mungkin marah pada keadaan, tapi ia tak ingin menyatakan bahwa kemarahannya itulah satu-satunya yang sah dengan mendakwahkannya; berbeda sekali dengan sikap Rendra (dan film ini secara keseluruhan) yang bahkan menghakimi balik penghakiman terhadapnya.
Demikian pula percakapan Iwan dengan anak-anak di tepi kali kecil. Iwan memperlihatkan sikap seorang seniman rendah hati yang berposisi sederajat dengan anak-anak yang mandi telanjang di kali itu. Ia bernyanyi bersama dan melawan kesewenang-wenangan (masa itu) dengan riang dan tetap bersuara tegas. Maka transformasi teriakan ”Bento!” dari anak-anak itu menjadi teriakan massa di Stadion Utama Senayan bagaikan melihat transformasi kekecewaan yang tulus para mahasiswa di tahun 1998 yang berubah menjadi kekuatan massa untuk menjatuhkan Soeharto.
Pada titik inilah inkoherensi cara ungkap film ini jadi cukup memberi keragaman dan ruang. Jika tidak, simbolisme yang vulgar, tema yang so last decade dan kemarahan dan gesture kejijikan akan membuat film ini jadi semacam rejim estetika yang memaksa penonton dengan klaim kebenarannya. Padahal secara umum saja, Kantata Takwa dengan segala ketidakakraban kekisahannya sudah melakukan seleksi awal yang ketat terhadap publik.
Klise
Sudah pasti KantataTakwa bukan produk populer. Namun secara sinematis, ia akan memberikan pertanyaan terhadap ungkapan estetika para pembuat film Indonesia masa kini. Kapankah sineas Indonesia bisa mengungkapkan apa saja yang diinginkannya, hingga bahkan nyaris mencapai taraf nonsens (Gotot mengakatan hal ini langsung pada saya: film ini sempat terendam banjir tapi gak papa, jadinya gambarnya malah asyik...) tanpa adanya halangan sama sekali?
Baiklah, di balik film ini ada uang taipan minyak yang nyaris tak terbatas ketika itu (bayangkan: 30 kamera!) tapi bukankah sumber dana untuk karya yang bebas tak pernah dibatas-batasi harus berasal dari kantong sendiri? Yang justru menarik ditanyakan adalah: akan seperti apa jadinya film ini seandainya Setiawan Djody ikut serta dalam penyelesaiannya.
Mungkin film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik, apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan tentangnya yang rasanya sepi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di Singapura.
Namun Kantata tetap mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris se-revolusioner Che Guevara. ”Kepahlawanan” mereka sekarang ini mungkin lebih menarik jadi gimmick untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan.***
Judul Film: Kantata Takwa; Sutradara: Eros Djarot dan Gotot Prakosa; Supervisi: Slamet Rahardjo Djarot; Cast: Iwan Fals, Rendra, Sawung Jabo, Clara Shinta, Setiawan Djody, Jocky Suryoprayogo dan Bengkel Teater Rendra.
Sumber : gemarnonton