JAKARTA, suaramerdeka.com - Agama Islam mempunyai peran yang sangat besar dalam perjalanan hidup
Virgiawan Listanto. Lirikus dan penyanyi balada kelahiran 3 September
1961 yang kemudian sohor dengan nama Iwan Fals. Sepenceritaan ibundanya
Lies Suudijah, sejak kecil pola didik yang sangat dekat dengan
nilai-nilai Islami sudah dia tekankan kepada Iwan cilik.
"Kadang-kadang nakal, tapi itu biasa, namanya juga anak-anak," ujar Lies kepada suaramerdeka.com,
Sabtu (21/7). Bagi Lies dan suaminya Harsoyo, jika bercerita tentang
suami Rosanna itu, "Selalu membuat saya berbunga-bunga," katanya.
Betapa tidak bahagianya dia, dengan makin bertambahnya usia Iwan,
dimatanya, putranya itu bukan saja makin tawaduk, sholeh, dan dekat
dengan ajaran Islam, "Tapi juga makin sayang dengan saya". Dan yang
paling membanggakan, imbuh dia, "Dia makin dekat dengan Allah SWT.
Soalnya, toh pada akhirnya kita akan kembali ke mana lagi?"
Bukan semata berposisi sebagai seorang ibu biologis yang melahirkan
putranya, sehingga sewajarnya senantiasa menyanjung puji anak
kebanggaannya. Lies bercerita, penilaiannya terhadap Iwan yang
ditimbangnya sebagai, "Anak yang luar biasa pada ibunya," bukanlah
berlebihan.
Dia menyontohkan, berkat pendidikan masa kecilnya yang sangat dekat
dengan nilai-nilai Islami, Iwan ketika tumbuh menjadi seorang remaja,
dan akhirnya berumah tangga, serta saat menjalani berbagai aspek pilihan
hidupnya yang dia pilih, yaitu menjadi musisi, dia menjadi pribadi yang
kuat, tabah dan tahan banting dalam menjalani hidup.
"Dia tidak pernah bercerita kepada saya tentang hal-hal yang tidak
mengenakkan dalam hidupnya. Dari dulu, hingga sekarang. Yang dia
ceritakan yang enak-enak saja," katanya.
Bahkan, jikalau ada sesuatu yang menganggu dalam hidup Iwan, "Dia
lebih suka menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan sebisa mungkin saya
tidak diberi tahu". Contohnya adalah saat anak sulung Iwan, Galang Rambu
Anarki meninggal dunia pada 25 April 1997. "Meski sebenarnya saya tahu
sekali Iwan dan Yos (panggilan Rosanna, istri Iwan) hancur hatinya, tapi
dia berusaha kuat untuk melalui hal itu," ujar Lies.
Meski Lies yang sekarang tinggal di Jl. Rambutan No. 8, Sahardjo,
Jaksel, pada waktu itu sangat memahami dan memaklumi kesedihan Iwan dan
Yos, "Siapa yang tidak sedih ditinggal anaknya?" Tapi, imbuh dia, karena
di keluarga besarnya menekankan pentingnya nilai-nilai Islam, akhirnya
Iwan dan Yos mampu melewati masa yang tidak mudah itu.
Meski pada awalnya berat, akhirnya Iwan bisa melewati masa sangat
krusial dalam hidupnya itu. Bahkan Lies sempat berbicara langsung ke
Iwan demi membesarkan hatinya, "Sudahlah, iklaskan saja, seharusnya kamu
malah seneng, soalnya besok, kalau kamu meninggal, ada yang njemput
kamu. Toh hidup hanya sebentar kan..."
Nasehat tanpa diminta dari seorang ibu kepada anaknya yang sedang
berduka itu ternyata manjur. Iwan akhirnya mampu bangkit lagi, dan
menjalani hidup dengan jauh lebih dekat dengan nilai-nilai Islami, walau
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Lies mengakui, "Kepergian
Galang, menjadi pemicu luar biasa bagi Iwan untuk lebih mendekatkan diri
kepada Islam dan Allah SWT".
Ibu sang inspirator
Apa yang dikemukakan Lies, yang juga telah banyak menginspirasi Iwan dalam menulis banyak lagu hits itu, diamini oleh Endi Aras. Salah satu lingkaran dalam, dan kawan dekat keluarga Iwan Fals. Mantan pengurus Yayasan Orang Indonesia (OI) yang turut memandikan jenasah Galang itu bercerita Meski sebelum Galang "pergi" sebenarnya Iwan sudah mulai tertib dan menjalankan syariat Islam, bahkan sejak penggarapan album Hijau (1992).
Apa yang dikemukakan Lies, yang juga telah banyak menginspirasi Iwan dalam menulis banyak lagu hits itu, diamini oleh Endi Aras. Salah satu lingkaran dalam, dan kawan dekat keluarga Iwan Fals. Mantan pengurus Yayasan Orang Indonesia (OI) yang turut memandikan jenasah Galang itu bercerita Meski sebelum Galang "pergi" sebenarnya Iwan sudah mulai tertib dan menjalankan syariat Islam, bahkan sejak penggarapan album Hijau (1992).
Waktu itu, menurut Endi, jika waktu sholat tiba, "Maka dengan sendirinya proses rekaman dihentikan, untuk break salat.
Jadi jauh lebih tertib," ujar dia. Tertib di sini maksudnya, jika
dibandingkan pada masa awal-awal penggarapan album Iwan sebelumnya, yang
penuh dengan pengembaraan, kenakalan, "penuh lubang dan mendaki",
eksperimen, dan "bau asap jalanan", tapi sejak kepergian Galang, Iwan
pelan dan pasti mulai dalam mempelajari nilai-nilai ke-Islam-an.
"Tapi memang benar, sejak kepergian Galang, dia menjadi jauh lebih
dekat pada Islam," katanya. Apalagi sekitar 3 tahun lalu, bersama
keluarga besarnya dia berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah
haji. Meski dalam bahasa Iwan kepada Endi, dia berhaji karena desakan
ibundanya Lies, "Haji terpaksa kata Iwan kepada saya ha ha ha," katanya.
Endi bersaksi, bukti paling kongkrit betapa makin "menep" dan
"suhud"-nya Iwan, ketika pada medio 2011 lalu, dia yang menyertai Iwan
keliling di 99 pesantren di Indonesia, bersama kelompok Ki Ageng Ganjur
pimpinan Ketua Lesbumi NU Zaztrow El Ngatawi demi menggelar konser di
hadapan ribuan santri di berbagai pondok pesantren, menyaksikan sendiri
betapa makin khusyuk, kidmat juga makin berdamainya Iwan atas hidup.
"Kalau kita masih dalam perjalanan dari satu pesantren ke pesantren
lain, dan tiba waktu sholat, maka iring-iringan mobil akan berhenti di
mushola atau masjid terdekat," kata Endi. Meski berposisi sebagai
pengembara, Iwan tetep berusaha sebisa mungkin akan melunaskan kewajiban
salat 5 waktu. Dan biasanya dia akan mengajak semua kru yang terlibat
dalam perjalanan religinya itu untuk melunaskan salat.
Bahkan di rumahnya sekarang di Leuwinanggung, Cibubur, Bogor di mana
sebuah mushola besar berada, jika waktu salat tiba, siapapun yang berada
di sana, termasuk sekumpulan OI, maka akan diajaknya untuk salat
berjamaah, "Nggak penting imamnya siapa, yang penting salat bareng,"
imbuh Endi.
Bahkan ketika menginap di berbagai pondok pesantren di sekitar Jabar
dan Jateng, Iwan makin menunjukkan "kebesarannya". Contohnya, ketika
mereka menggelar konser di sebuah pesantren di Tegal. Sebagai bintang
utama, Iwan mendapatkan jatah sebuah kamar untuk beristirahat di
pesantren itu, "Tapi karena kamarnya lembab, akhirnya Iwan memilih tidur
di luar kamar, dan tidur di bawah tali jemuran yang telah diberesi
pakaiannya oleh para santri, bergabung dengan beberapa kru musik
lainnya, dengan hanya beralaskan karpet".
Hal itu kembali dilakukan Iwan ketika menggelar konser di sebuah
pondok pesantren di Jepara. Dia juga memilih tidur di luar kamar yang
disediakan pondok pesantren itu, untuk bergabung bersama dengan kru
musiknya. Demikian halnya ketika konser bergeser ke Sragen, di sebuah
pondok pesantren khusus untuk para preman, pemabuk, pemadat dan
orang-orang dari dunia hitam lainnya. Di pondok pesantren itu Iwan
bahkan tidak mendapatkan jatah kamar, dan tidur bebarengan dengan para
preman itu, "Meski sebenarnya Iwan bisa protes ke Zastrow Ngatawi, dia
tidak melakukan itu, akhirnya saya usulkan agar Iwan tidur di dalam bus
pribadinya yang telah disulap menjadi semacam mobil karavan," kata Endi.
Pahlawan Asia
Hal-hal demikianlah yang membuat Endi menyimpulkan jika perjalanan hidup Iwan, dan persentuhannya dengan Islam, telah membuatnya menjadi pribadi yang makin matang. Sebab, dia sudah tidak mempermasalahkan lagi hal-hal remeh temeh seperti itu lagi dalam hidupnya, meski posisinya sebagai seorang bintang. Dan hampir tidak ada orang di Indonesia yang tidak kenal namanya. Sehingga tidak mengherankan bila pada 2002 lalu, majalah Time pernah menabalkannya sebagai salah satu Pahlawan Asia, atau Great Asian Hero.
Hal-hal demikianlah yang membuat Endi menyimpulkan jika perjalanan hidup Iwan, dan persentuhannya dengan Islam, telah membuatnya menjadi pribadi yang makin matang. Sebab, dia sudah tidak mempermasalahkan lagi hal-hal remeh temeh seperti itu lagi dalam hidupnya, meski posisinya sebagai seorang bintang. Dan hampir tidak ada orang di Indonesia yang tidak kenal namanya. Sehingga tidak mengherankan bila pada 2002 lalu, majalah Time pernah menabalkannya sebagai salah satu Pahlawan Asia, atau Great Asian Hero.
Ke-hero-an Iwan inilah yang membuat ibundanya makin sayang kepadanya,
"Saya sampai mewanti-wanti adik-adiknya untuk tidak mengabarkan kepada
Iwan kalau saya, misalnya sedang sakit," ujar Lies. Mengapa sebagai ibu,
Lies harus menyembunyikan hal itu kepada Iwan, anaknya? "Kalau Iwan
sampai tahu, dia akan menunggui saya sampai sembuh," katanya lagi. Dan
hal itu berarti, konsekuensi logisnya adalah semua kepentingan Iwan akan
dia abaikan dengan otomatis, "Dia akan mencurahkan harinya demi saya,
sampai saya sehat wal afiat."
Bahkan sampai sekarang, setiap Sabtu malam, antara pukul 19.30 sampai
22.00 Iwan akan datang ke rumah ibundanya, bukan untuk sekadar mencium
tangan orang tuanya itu, "Dia mengajar anak-anak karate di Panti Asuhan
di sini," kata Lies. Selesai mengajar karate, imbuh Lies, Iwan akan
membuka mobilnya lebar-lebar, kemudian membagikan aneka kue kering,
jajanan, sayuran dari terong, ketimun dan hasil bumi lainnya yang dia
tanam sendiri di Leuwinanggung, "Kepada anak panti asuhan di sini".
Setelah itu baru pukul 24.00 Iwan pulang ke Leuwinanggung. Tapi, karena
saat ini bulan Ramadan, untuk sementara kegiatan per-karate-an prei dulu, "Nanti malam (Sabtu, 21/7) saya yang ke rumah Iwan, soalnya ada buka bersama, pengajian dan konser di sana," ujar Lies.
Penulis masih ingat sekali, ketika diundang bersama beberapa kawan
wartawan di kediamannya di Leuwinanggung, ketika Iwan hendak meneruskan
ronde kedua konser ke-99 pondok pesantren di Sumatra dan Jawa, Iwan
berujar, "Konser religi ini adalah bagian proses mencari makna hidup.
Karena lingkungan yang baik dengan sendirinya akan mempengaruhi perilaku
yang baik," katanya waktu itu.
Maka tidak mengherankan, ketika ada masa jeda konser itu, Iwan Fals
berkisah semakin banyak ilmu Islam yang dia dapatkan, "Bahkan ada
beberapa kyai yang hendak memberikan ilmu seperti menghentikan hujan,
dan ilmu aneh-aneh lainnya kepada saya," katanya sambil tertawa.
(Benny Benke/CN15)
sumber : suaramerdeka dot com