Featured

    Featured Posts

  • dimana kehidupan
  • disitulah jawaban

MENYOAL LEGALITAS ORGANISASI Oi SEBUAH DILEMA DARI KETERLANJURAN YANG TAK BERUJUNG

Jam Tangan Logo Oi Couple
Oleh : Pudji Pamungkas (*)

Aspek legal formal bagi sebuah organisasi terlebih yang berskala nasional memang sangat penting. Hal ini bukan saja menyangkut soal ketentuan peraturan perundang-undangan maupun persoalan pengakuan negara (pemerintah) terhadap keberadaan suatu organisasi sebagai sebuah badan/lembaga yang resmi dan sah (baik dengan status badan hukum atau bukan), tetapi secara lebih luas legalitas ini juga akan berpengaruh terhadap keleluasaan gerak organisasi itu sendiri dalam berinteraksi dengan berbagai badan/lembaga/ organisasi lain baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Begitu juga halnya dengan organisasi Oi. Tanpa adanya legalitas ini organisasi Oi akan mengalami kesulitan misalnya ketika akan membuka rekening bank atau melakukan transaksi perbankan lainnya dan juga menjalin kerjasama program dengan badan/lembaga lain baik pemerintah maupun swasta yang mempersyaratkan adanya legalitas organisasi atau jika organisasi Oi ingin mendirikan unit-unit usaha atau lembaga yang berstatus badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi, dan/atau Yayasan.

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran organisasi kemasyarakatan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara Pemberitahuan kepada Pemerintah serta Papan Nama dan Lambang Organisasi, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Persoalan legalitas organisasi Oi sebenarnya adalah persoalan klasik yang selalu muncul dan menjadi perbincangan hangat dalam setiap kesempatan pertemuan anggota Oi baik di tingkat nasional maupun di daerah dan tidak jarang teman-teman anggota Oi di daerah yang cukup memahami persoalan organisasi juga sering mempertanyakan masalah ini. Bahkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Oi yang diselenggarakan di Gedung Joeang 1945 di Jalan Menteng Raya Jakarta pada tanggal 8-9 September 2007 juga masih mempersoalkannya. Artinya selama 8 tahun organisasi Oi berdiri, pekerjaan rumah (PR) yang tidak pernah terselesaikan adalah persoalan legalitas organisasi. Menurut keterangan yang saya peroleh dari BPP Oi pada tahun 2005 yang lalu, yang pernah dilakukan oleh BPP Oi berkait dengan legalitas ini dalam periode masa bhakti Tahun 2003  2006 (dibawah kepemimpinan Sdr. Digo. DZ sebagai Ketua Umum) adalah mendaftarkan logo organisasi Oi ke Direktorat Patent dan Hak Cipta (ketika itu dalam proses).

Yang menjadi pertanyaan sekarang sebenarnya adalah, seberapa pelik dan rumitkah persoalan legalisasi organisasi Oi ini? Mengapa sampai organisasi Oi berjalan lebih dari 8 tahun persoalan ini tidak juga terselesaikan? Mengapa persoalan ini masih selalu muncul? Dan mengapa Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi seolah tidak pernah ada kemauan dan secara serius menyelesaikan persoalan ini?

Sebagai salah seorang pelaku sejarah organisasi Oi nasional, saya merasa terpanggil untuk turut memberikan tanggapan dan sumbang saran terhadap persoalan ini dengan harapan pengungkapan masalah ini dapat menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi teman-teman pengurus maupun anggota untuk dapat mencari solusi dan mengambil keputusan guna menyelesaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya.

Menurut hemat saya, persoalan yang sebenarnya terjadi dalam masalah legalitas organisasi Oi ini adalah bukan pada persoalan serius atau tidaknya BPP Oi mengurusnya, tetapi kesulitan yang dihadapi oleh BPP Oi bahkan pada periode ketika saya masih menjabat sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001/2002 pun menghadapi kesulitan yang sama. Kesulitan ini lebih karena adanya persoalan mendasar yang tidak mudah untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya (bahkan seperti menjadi sesuatu yang impossible).
Persoalan mendasar yang saya maksudkan adalah persoalan adanya Akta Pendirian organisasi Oi yang telah terlanjur dibuat secara salah (!). Kesalahan ini begitu mendasar dan fatal, meski saya yakin dan bisa dimaklumi kesalahan itu bukanlah merupakan kesalahan yang disengaja atau bukan tidak mungkin kesalahan itu terjadi karena BPP Oi saat itu (Sdr. Iif Ranupane, dkk) menempuh jalan pintas yang lebih mengutamakan pada prinsip pokoknya organisasi Oi dibuatkan akta pendiriannya di hadapan Notaris namun dengan tanpa mempertimbang kan aspek-aspek yuridis dan historis serta dampaknya dikemudian hari. Ini adalah rentetan dari sebuah kecelakaan sejarah yang disebabkan karena keteledoran masa laluâ. Mengapa demikian? Mari kita simak peristiwa yang terjadi lebih dari 8 tahun yang lalu persisnya pada saat diselenggarakannya Silaturahmi Nasional Oi pada tanggal 15-16 Agustus 1999 di Desa Leuwinanggung, Kecamatan Cimanggis, Kotif Depok, Kabupaten Bogor (sekarang masuk dalam wilayah Pemerintahan Kota Depok).

Dalam Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 yang saat itu dihadiri lebih dari 300 orang penggemar Iwan Fals dari 23 Provinsi di Indonesia yang mewakili berbagai komunitas penggemar Iwan Fals (Iwan Fals Fans Club) dan unsur-unsur dari Iwan Fals Management (IFM) serta Yayasan Orang Indonesia (YOI) sebagai pemrakarsa pertemuan, disepakati untuk menyatukan para penggemar Iwan Fals dengan membentuk organisasi kemasyarakatan dengan nama �Oi� sebagai satu-satunya wadah (organisasi) bagi para penggemar Iwan Fals dan secara otomatis melebur kelompok-kelompok Iwan Fals Fans Club (IFFC) yang banyak tersebar di seantero pelosok tanah air kedalam wadah organisasi Oi. Keputusan lain yang dihasilkan Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 adalah menetapkan logo organisasi Oi sebagaimana yang masih berlaku hingga sekarang serta membentuk Badan Pengurus Pusat Sementara (BPPS) Oi yang pada ketika itu terpilih Sdri. Kresnowati sebagai Ketua Umum BPPS Oi dan selanjutnya menugaskan kepada BPPS Oi untuk dalam waktu segera menyelenggarakan Musyawarah Nasional Oi yang pertama dan mengurus legalitas organisasi dengan mendaftarkannya kepada instansi yang berwenang (Departemen Dalam Negeri).

Namun pada saat itu BPPS Oi agaknya lebih memprioritaskan pada penyiapan penyelenggaraan Musyawarah Nasional Oi yang pertama (yang diselenggarakan pada tahun 2000 di Leuwinanggung) , sehingga persoalan legalisasi Oi oleh BPPS Oi belum dapat dilaksanakan dan selanjutnya ditugaskan kepada Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi pertama hasil Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000 yang pada ketika itu terpilih sebagai Ketua Umum adalah Sdr. Iif Ranupane dari Provinsi Jambi dengan Wakil Ketua Sdr. Indra Bonaparte (Jakarta Pusat) dan Sekretaris Jenderal Sdr. Enong S. Riyadi (Jakarta Utara).

Meski Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 sebagai forum yang membentuk dan mendeklarasikan berdirinya organisasi Oi telah membahas soal perlunya legalitas organisasi Oi dan menugaskan kepada BPPS Oi untuk melakukan pendaftaran organisasi Oi kepada instansi yang berwenang serta membuat Akta Pendiriannya dihadapan Notaris, namun sayangnya (inilah asal muasal dari keruwetan yang terjadi sekarang) pada saat itu Silaturahmi Nasional Oi tidak memikirkan tentang mekanisme dan ketentuan tata caranya.  Dan sayangnya pula penugasan oleh Silaturami Nasional Oi tahun 1999 kepada BPPS Oi tidak disertai dengan adanya Surat Kuasa dari para pendiri/deklarator yaitu para peserta Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 yang berjumlah lebih dari 300 orang untuk menghadap Notaris guna membuat Akta Pendirian Organisasi Oi. Semestinya pada ketika itu dibuatkan sebuah dokumen pernyataan deklarasi organisasi Oi yang ditandatangani oleh para pendiri/deklarator serta Surat Kuasa dari para pendiri/deklarator. Inilah yang saya maksudkan dengan â€�keteledoran masa lalu.â€�

Pada tahun 2000 Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi yang pertama hasil Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000 yang dipimpin oleh Sdr. Iif Ranupane sebagai Ketua Umum, Indra Bonaparte (Wakil Ketua), Enong S. Riyadi (Sekjen), Zaenal Mutaqin (salah satu Ketua Departemen  BPP Oi), Kresnowati (mantan Ketua Umum BPPS Oi) dan Iwan Fals yang mewakili Yayasan Orang Indonesia (YOI) sebagai para penghadap, menghadap Notaris Rawat Erwady, SH  di Jakarta untuk membuat Akta Pendirian organisasi Oi tanpa adanya Surat Kuasa menghadap dan membuat Akta Pendirian dari para pendiri/deklarator. Dan akhirnya terbitlah Akta Pendirian organisasi Oi dengan No. 01/Tahun 2000.

Belakangan ketika saya menjabat sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001 berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Oi Tahun 2001 menggantikan Sdr. Iif Ranupane (yang mengundurkan diri – dan sayapun akhirnya juga mengundurkan diri dari jabatan saya) baru saya ketahui manakala saya membaca bunyi salinan Akta Pendirian Organisasi Oi  tersebut yang ternyata hanya mencantumkan nama 6 orang yaitu para penghadap sebagai pendiri organisasi Oi. Dalam ketentuan akta pendirian suatu badan/lembaga/ organisasi yang dibuat dihadapan Notaris memang wajib ditulis/ dicantumkan nama para pendiri organisasi tersebut. Dan kelaziman yang terjadi dalam pembuatan akta, Notaris dalam membuat akta memang hanya mendasarkan kepada data-data dan keterangan dari para penghadap tanpa harus melakukan penelitian kecuali sebatas pada keabsahan dokumen bukti identitas diri para penghadap. Sedangkan data-data tentang pendirian organisasi hanya didasarkan pada keterangan para penghadap atau dokumen Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang diajukan oleh para penghadap. Sehingga secara serta merta Notaris hanya mencantumkan nama para penghadap yakni 6 orang tersebut sebagai pendiri organisasi Oi. Artinya secara formal berdasarkan Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 tersebut, organisasi Oi didirikan â€�hanyaâ€� oleh 6 orang tersebut. Hal ini tentunya bertentangan dan tidak sesuai dengan fakta sejarah
yang sebenarnya bahwa organisasi Oi didirikan dan dideklarasikan oleh lebih dari 300 orang yakni para peserta Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999.

Ini adalah kesalahan yang sangat prinsip dan mendasar karena akan berakibat pada aspek yuridis dan historis. Menurut hemat saya, kesalahan  ini bisa jadi bukan sesuatu yang disengaja melainkan lebih karena ketidaktahuan atau kekurangpahaman para pembuat Akta (para penghadap) tentang aspek legal formal dan masalah kenotariatan atau sebagaimana yang saya kemukakan di atas ada kemungkinan BPP Oi dan para penghadap pada saat itu hanya berusaha memenuhi target â€�pokoknyaâ€� Oi punya Akta Notaris dan itu sudah cukup sebagai landasan pengertian bahwa organisasi Oi sudah bisa dianggap legal dengan tanpa mempertimbangkan aspek lain. Padahal aturan hukum formal di Indonesia, sebuah akta (meski itu dibuat dihadapan Notaris) bukanlah merupakan dokumen negara yang menyatakan legalitas suatu lembaga/badan atau organisasi, melainkan hanyalah sebuah keterangan yang dibuat dan dicatatkan baik oleh seseorang atau beberapa orang di hadapan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta dan selanjutnya didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, tetapi bukan merupakan dokumen yang memberikan kekuatan hukum atau pengakuan keabsahan dari negara (pemerintah) terhadap status badan hukum sebuah organisasi. Akta Pendirian hanyalah merupakan salah satu syarat administratif untuk memperoleh legalisasi dari negara (pemerintah) . Kewenangan untuk memperoleh status badan hukum hanya ada pada Menteri Kehakiman dan HAM RI dan di Indonesia hanya dikenal  4 (empat) bentuk badan hukum yaitu : (1). Perseroan Terbatas; (2).Yayasan; (3). Koperasi; dan (4). Badan dan/atau lembaga yang dibentuk oleh negara/pemerintah berdasarkan Undang-undang atau Keputusan Presiden. Sedangkan legalisasi yang dimaksud bagi organisasi kemasyarakatan (Ormas)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hanyalah bersifat pemberitahuan kepada pemerintah (dalam hal ini Departemen Dalam  Negeri cq Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik cq Direktorat Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan) dan untuk selanjutnya organisasi/lembaga tersebut akan menerima Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

Dalam analisa saya bisa jadi pada saat pembuatan Akta tersebut, Notaris bertindak tidak cukup cermat mengingat Anggaran Dasar Oi yang diajukan oleh para penghadap dan selanjutnya dimuat dalam Akte Pendirian organisasi Oi tersebut jelas-jelas tertulis bahwa Anggaran Dasar Oi tersebut adalah merupakan sebuah ketetapan Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000. Mestinya pada saat itu Notaris mempertanyakan Surat Kuasa para penghadap yang menerangkan dan membenarkan bahwa para penghadap benar-benar dalam kapasitas dan berhak serta sah untuk membuat Akta pendirian dan bertindak sebagai dan/atau mewakili para pendiri organisasi Oi.

Karena itu sejak saya membaca salinan Akta tersebut saya berpendapat bahwa Akta Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000 yang dibuat dihadapan Notaris Rawat Erwady, SH tersebut adalah Akta yang dibuat secara salah karena substansi isi keterangan Akta tersebut tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan oleh karenanya Akta tersebut haruslah diubah. Persoalan yang muncul kemudian untuk dapat meluruskan dan mengoreksi kesalahan yang bersifat substansial tersebut yakni (misalnya) dengan membuat Akta Perubahan bukanlah persoalan yang gampang. Akta Perubahan yang saya maksudkan adalah Akta baru yang mengoreksi substansi isi Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 yang menyangkut penulisan nama-nama para pendiri organisasi Oi yang mesti disesuaikan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Ada 2 (dua) persoalan besar yang sampai saat ini masih menjadi hambatan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Pertama : Salinan asli Akta Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000 tersebut belakangan menurut informasi yang saya peroleh dari salah satu sumber yang mengetahui
persoalan ini dokumen itu ada pada Sdr. Iif Ranupane (?) dan masih menurut sumber tersebut Sdr. Iif Ranupane hingga saat ini tetap bersikukuh untuk tidak menyerahkan dokumen Akta tersebut kepada siapapun (Jika informasi itu memang benar dan menurut rumor sikap Sdr. Iif Ranupane ini lebih karena persoalan konflik yang ketika itu terjadi antara dirinya dan beberapa pengurus BPP Oi lainnya dengan pihak Iwan Fals Management (IFM) yang berujung pada pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001). Kalaupun misalnya dokumen Akta itu bisa didapat kembali namun belum tentu Sdr. Iif Ranupane (?) mau menandatangani Akta Perubahan (sesuai ketentuan hukum yang berhak melakukan perubahan Akta hanyalah para penandatangan Akta pertama) yaitu 6 orang para penghadap. Tentang siapa sebenarnya yang menyimpan salinan asli Akta itu bagi saya memang masih menjadi tanda tanya..
Keraguan saya terhadap informasi yang menyatakan bahwa salinan Akta itu berada di tangan Sdr. Iif Ranupane adalah karena seingat saya pada saat kehadiran saya yang terakhir kalinya di Kantor Sekretariat BPP Oi menjelang pengunduran diri saya dari jabatan Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2002, salinan asli Akta itu beserta beberapa lembar foto copynya dan foto copy salinan Akta Yayasan Orang Indonesia (YOI) masih berada dalam laci salah satu meja di ruangan Sekretariat BPP Oi, dan sepanjang yang saya ketahui selama saya menjabat dan sesudah pengunduran diri saya dari jabatan Ketua Umum BPP Oi seperti yang saya dengar dari teman-teman Sdr. Iif Ranupane tidak pernah berada disana, sebab sejak pengunduran dirinya setahu saya Sdr. Iif Ranupane hanya sekali berkunjung ke Leuwinanggung dan itupun tidak ke Sekretariat BPP Oi tetapi ke salah satu warga di Leuwinanggung) . Keterangan yang menyatakan bahwa salinan asli Akta itu ada pada Sdr. Iif Ranupane agak sulit dipercaya, kecuali memang ada pihak tertentu yang menyerahkan kepadanya. Jadi sampai sekarang tentang siapa sebenarnya yang memegang salinan asli akta tersebut bagi saya masih misterius.

Keberadaan Akta No. 01/Tahun 2000 itu sendiri memang tidak mungkin dibatalkan sekalipun misalnya BPP Oi mengajukan surat permohonan pembatalan kepada Notaris yang bersangkutan. Sebuah Akta hanya dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum oleh Putusan Pengadilan Negeri atas dasar permohonan dan/atau berupa pengajuan gugatan perdata di Peradilan Umum setempat yang diajukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kompetensi hukum untuk mengajukan permohonan dan/atau melakukan gugatan perdata terhadap perkara yang dimohon/digugat yaitu para pendiri/deklarator. Andai cara ini yang akan ditempuh, maka BPP Oi dapat menjadi kuasa pemohon/penggugat dengan hak substitusi untuk menguasakan kembali kepada seorang Advokat atau kepada salah satu Kantor Pengacara, karena tanpa adanya surat kuasa tersebut BPP Oi tidak dapat bertindak dan tidak berwenang untuk melakukan perubahan Akta. Kalaupun misalnya Sdr. Iif Ranupane (?) mau bersikap legowo dan mau menyerahkan salinan Akta tersebut serta mau menandatangani Akta Perubahan atau meniadakan Akta tersebut dengan cara membubarkan organisasi Oi versi Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 dan selanjutnya dibuatkan Akta pendirian yang baru, lalu bagaimana dengan yang lain?,  yaitu para penandatangan Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 (Sdr. Indra Bonaparte, Sdr. Zaenal Mutaqin, Sdr. Enong S. Riyadi, Sdri. Kresnowati dan Sdr. Iwan Fals). Andai misalnya mereka tidak ada masalah, apakah persoalan selesai? Belum! Persoalan belum berakhir disini, sebab Akta perubahan dan/atau Akta pendirian yang baru
hanya dapat dibuat oleh para pendiri/deklarator baik langsung atau dengan kuasa.

Persoalan kedua adalah : Apakah para pendiri/deklarator Oi yaitu para peserta Silaturami Oi Nasional tahun 1999 yang 300 orang lebih itu saat ini masih dapat dilacak keberadaannya, dihubungi dan dimintai tandatangan dan foto copy identitas dirinya untuk keperluan memenuhi persyaratan pembuatan Akta pendirian yang baru sebagai pengganti Akta yang dibuat tahun 2000? Inipun bukan persoalan yang mudah. Data-data para peserta Silaturahmi Oi Nasional tahun 1999 barangkali masih bisa dicari dalam file Iwan Fals Management (IFM) dan Yayasan Orang Indonesia (YOI) selaku pemrakarsa dan penyelenggara acara tersebut (itupun kalau masih terdokumentasi dengan baik), tetapi kalapun misalnya data-data itu masih ada dan lengkap, apakah saat ini mereka semua masih bisa dilacak dan dihubungi? Sebagian tentu masih bisa karena sebagian masih tetap berkiprah dan aktif sebagai anggota Oi di daerahnya, tetapi sebagian yang lain? Hal yang membuat saya merasa pesimis bahwa mereka dapat dihubungi kembali seluruhnya adalah mengingat (misalnya) peserta yang dulu mewakili Provinsi Aceh, apakah ia masih ada dan tidak menjadi korban tsunami yang melanda Aceh beberapa waktu yang lalu? Apakah peserta yang dulu mewakili Propinsi Timor Timur (yang ketika itu masih menjadi bagian dari NKRI) masih ada? Apakah ia masih warga negara Indonesia atau memilih menjadi warga negara Timor Leste? Atau apakah ia masih hidup dan tidak menjadi korban kerusuhan mengingat pasca jajak pendapat di Timor Timur telah memakan korban jiwa yang tidak sedikit? Inilah sebuah dilema dari keterlanjuran yang mungkin tak akan ada ujungnya.

Dengan persoalan yang ruwet tersebut, apakah ke depan organisasi Oi masih mungkin untuk dilegalisasikan? Jawabannya bisa mungkin bisa juga tidak.
Mungkin, jika seluruh komponen keluarga Besar Oi dapat melakukan rekonsiliasi nasional dengan mempertemukan kembali para �tokoh� yang dulu pernah terlibat berbagai konflik internal dalam tubuh organisasi Oi, khususnya para pembuat Akta dengan pihak Iwan Fals Management (IFM) dan juga Yayasan Orang Indonesia (YOI).
Rekonsiliasi nasional ini diharapkan dapat dimediasi oleh BPP Oi atau pihak ketiga yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun cara inipun agaknya juga tidak mudah, terbukti dalam acara Silaturami dan Reuni Para Pendiri Oi yang diprakarsai dan diselenggarakan oleh BPP Oi, Iwan Fals Management (IFM) dan Yayasan Orang Indonesia (YOI) pada tahun 2006 yang lalu di Leuwinanggung menurut informasi yang saya terima justru berujung pada konflik lama yang kembali meruncing.

Melihat kenyataan ini saran saya seyogyanya BPP Oi segera membentuk sebuah Tim Khusus (bisa juga ditugaskan kepada LBH BPP Oi) yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan ini dan segera berkonsultasi dengan Notaris Rawat Erwady, SH dengan menyampaikan duduk perkara yang sebenarnya serta meminta saran dan solusi pemecahannya. Jika Notaris mempunyai pendapat yang sama dengan beberapa pendapat saya sebagaimana yang saya kemukakan diatas, yakni perubahan Akta hanya dapat dilakukan oleh para penandatangan, maka tidak ada cara lain Tim Khusus yang dibentuk BPP Oi agar segera mulai menginventarisasi dan mengumpulkan data-data para pendiri organisasi Oi yakni para peserta Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 dan segera melacak keberadaannya. Langkah berikutnya adalah mengundang mereka dalam suatu pertemuan khusus yang membahas persoalan tersebut. Jika pertemuan tersebut tidak memungkinkan untuk dapat dilaksanakan, maka diupayakan agar mereka dapat mengirimkan foto copy identitas diri yang dilegalisasi oleh Lurah/Camat atau Dinas Kependudukan di tempat mereka berdomisili serta menandatangani Surat Kuasa kepada BPP Oi untuk : (1). Mengajukan gugatan perdata/permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dimana wilayah kerja Notaris yang bersangkutan berada untuk membatalkan Akta Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000; dan (2). Menghadap Notaris dan membuat Akta Pendirian organisasi Oi yang baru.

Langkah-langkah ini tentunya akan membutuhkan proses waktu yang cukup panjang dan memerlukan biaya yang relatif tidak sedikit, belum lagi biaya sosial yang akan ditanggung Oi yang mungkin tidak akan dapat dinilai dengan uang. Dilematis memang. Namun jika Akta Pendirian tahun 2000 tidak dibatalkan dan/atau dibuat Akta perubahannya, maka konsekuensi yang timbul adalah akan ada 2 buah Akta Pendirian organisasi Oi, yang berarti secara de jure akan terdapat 2 organisasi Oi di  Indonesia. Dan bukan tidak mungkin secara de facto pun akan terdapat 2 organisasi Oi, jika (misalnya) suatu waktu Sdr. Iif Ranupane (?) dkk membentuk kepengurusan Oi sendiri sebagai tandingan. Jika ini yang kemudian terjadi maka akan muncul persoalan yang lebih besar. Dan bukan tidak mungkin akan terjadi konflik tajam dari 2 kubu organisasi Oi yang berbeda dan Sdr. Iif Ranupane mungkin akan berada diatas angin, karena salah satu penandatangan Akta pendirian yang salinan aslinya ada padanya (?) adalah Iwan Fals.

Jadi agar tidak terjadi lagi �keterlanjuran� babak kedua dan suasana menjadi semakin keruh dan carut-marut, maka sebaiknya BPP Oi segera mencari solusi yang terbaik dengan memakai prinsip seperti bunyi motto Perum. Pegadaian yaitu �menyelesaikan masalah tanpa masalah�. Atau bisa juga BPP Oi menempuh cara yang agak ekstrim yaitu memilih �buta-tuli� dan �cuek-bebek� seolah-olah tidak tahu terhadap kesalahan mendasar yang ada dalam Akta Pendirian tahun 2000 dan tanpa harus lagi mempertimbangkan berbagai faktor resiko yang mungkin timbul mendaftarkannya sebagai kelengkapan persyaratan administratif ke Departemen Dalam Negeri demi memperoleh apa yang disebut sebuah �Legalitas�, namun dengan melakukan pembiaran terhadap suatu �perkeliruan sejarah� dengan mengingkari fakta sejarah yang sebenarnya. Semua akan kembali berpulang kepada kearifan dan kebijaksanaan berfikir dan bertindak teman-teman yang saat ini menjabat di BPP Oi dan pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan tersebut. Namun jika memang itu menjadi satu-satunya cara yang paling mungkin untuk dilakukan (meski bisa jadi akan menyakiti hati sebagian para pendiri/deklarator dan mengingkari fakta sejarah, karena nama-nama mereka secara de jure akan segera terhapus dari daftar nama para pendiri/deklarator Oi), apa boleh buat?. Dan bagi saya sendiri sebagai salah seorang pendiri/deklarator Oi pada akhirnya harus ikhlas berpendapat, jika keputusan untuk menggunakan cara itu (sebagai cara yang paling habis-habisan) yang akan ditempuh, maka sepanjang ada konsensus nasional dan dengan mendapat persetujuan sedikitnya lebih dari setengah jumlah para pendiri/deklarator, (jumlah yang masih rasional dan realistik untuk dapat dilacak keberadaannya) , mengapa tidak? ketimbang organisasi Oi �seumur-umur� harus selalu dibayang-banyangi dengan embel-embel dan sebutan sebagai organisasi ilegal (yang kalau disingkat tetap saja Oi – organisasi ilegal). Dan adalah sebuah tindakan yang konyol apabila BPP Oi saat ini memaksakan diri mengurus legalitas organisasi Oi dengan mendaftarkannya kepada Departemen Dalam Negeri dengan menggunakan Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 tanpa meminta pendapat dari para pendiri/deklarator organisasi Oi maupun suara mayoritas anggota Oi (konsensus nasional), hanya demi mengejar target �pokoknya� organisasi Oi mendapat legalisasi dari pemerintah .

Nah, berdasar pada pengalaman sejarah itulah, maka seyogyanya sekali sebuah organisasi dibuatkan Akta pendiriannya, maka setiap ada perubahan amandemen) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sudah semestinya dibuatkan Akta Perubahannya, karena bicara legalitas suatu organisasi, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang dianggap sah dan berlaku dihadapan hukum adalah yang di muat di dalam Akta yang dibuat dihadapan Notaris, bukan dokumen hasil keputusan Musyawarah Nasional meski kewenangan untuk itu ada padanya.

Apa yang saya uraikan tersebut diatas memang belum pernah diekspose secara terbuka kepada publik Oi, dan mayoritas anggota Oi bahkan mungkin para penguruspun tidak banyak yang mengetahui persoalan ini.. Namun adanya baiknya hal ini tidak dibiarkan dan dipendam begitu saja tanpa dicarikan solusi pemecahannya, karena hal ini dapat menjadi �bom waktu� yang setiap saat dapat meledak dan berresiko mengancam eksistensi dan keutuhan organisasi Oi dan menjadi persoalan yang lebih rumit lagi di masa mendatang.

Akhirnya saya hanya bisa berharap semoga teman-teman yang terlibat dalam �episode cerita� ini dan merasa menjadi (maaf) �aktornya� dapat kembali kepada komitmen awal saat bertemu dan bersilaturahmi seperti tahun 1999 sambil meneriakkan yel-yel : � Oi.......... ......... .!!!� dan segera mengakhiri krisis ini dengan besar hati dan melihat pada kepentingan yang lebih luas, sehingga di masa depan organisasi Oi benar-benar dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah organisasi besar dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana yang diharapkan, tanpa adanya cacat sejarah.
Hanya dengan cara itulah organisasi Oi dapat memenuhi tuntutan untuk menjadi organisasi yang legal.

Baca Juga Artikel Fals dibawah ini

author

dwisTROi Group

Hallo bos, kami dari dwisTROi Group. ini adalah blog sederhana dari kami.

kami dapat dihubungi lewat email info@dwistroi.com

Update otomatis dari blog ini

Komentar disini

www.CodeNirvana.in

Powered by Blogger.
Blog dwisTROi blog online sejak 2007 | Template By Code Nirvana