Aku telah mengenalnya jauh sebelum seluruh negeri heboh menanggapi suara berita-berita yang tertulis dalam koran. Hampir sebagian besar media memang memuat cerita tentang dia, seorang lelaki yang sering keluar masuk bui dan jadi buronan polisi,
Sugali. Dia adik bapakku, tapi justru tidak pernah bersedia kupanggil
paman. Dia lebih suka kupanggil dengan nama saja, tanpa embel-embel
lain.
“Sugali. Panggil Gali saja. Persetan
segala formalitas keluarga!” katanya saat pertama kali bertemu. Umurku
hampir 15 tahun waktu itu, dan dia dengan sangat mengejutkan hadir di
prosesi pemakaman Bapak. Kejadian yang sangat mengherankan karena
menurut cerita-cerita Bapak semasa hidup, adik satu-satunya itu seperti
angin yang tak bisa diam di satu tempat hingga aku dan adik-adikku,
keponakan-keponakannya, tak pernah mengenalnya. Sangat mengherankan jika
dia bisa tiba-tiba muncul tepat di hari kematian Bapak kecuali
kemungkinan bahwa sebenarnya Sugali dan Bapak selalu saling berhubungan.
Entah bagaimana caranya, hanya mereka berdua yang tahu. Jikalau tidak
demikian, hubungan batin mereka pastilah lebih erat hingga punya
kemampuan kontak batin melampaui kewajaran. Kenyataan yang baru
kuketahui jauh bertahun-tahun setelahnya, ternyata Bapak memang
menyembunyikannya dari keluarga.
Kematian Bapak seakan memicu tombol di
dalam hatinya untuk dengan penuh kesadaran mengambil alih tanggung jawab
mengurus aku, Ibu dan kedua adikku. Tentu saja dia tidak menggantikan
Bapak dalam arti sebenarnya, tapi dialah yang membuat perekonomian
keluarga kami tetap stabil. Semua kebutuhan dia yang mencukupi walaupun
Ibu tidak pernah benar-benar mengharapkannya. Dia jadi seperti
sinterklas yang tiba-tiba saja jatuh dari langit tepat di atas tungku
dapur keluarga kami. Rasa tanggung jawabnya tidak bisa dibilang murahan
walaupun memang dia hampir tidak pernah bertandang karena alasan
kesibukannya.
Hanya satu yang kusesali, semua yang
kami dapatkan darinya ternyata hasil kerja haram. Baru aku ketahui
justru ketika keluarga telah banyak berhutang budi kepadanya. Modal Ibu
membuka toko kelontong, biaya sekolahku dan adik-adik, fitrah lebaran
atau apapun yang pernah dia berikan pada kami … semua adalah hasil
menggarong.
Garong. Sugali adalah seorang garong.
Sungguh, jika dia tidak datang pada
suatu malam berhujan dengan luka tembak yang berdarah-darah pada paha
kanannya, aku dan Ibu tidak akan pernah menyangka demikian.
“Kawanku mati semua. Untung nyawaku ada
sembilan,” dia berkata saat Ibu dengan tangan gemetar membalut lukanya.
Lalu dia menunjuk sesuatu yang terikat di pinggangnya sambil tertawa
untuk sekedar meredakan ketegangan kami, “Jimat ini ternyata palsu!”
Aku menggigil karena marah dan kecewa.
Ibu pun sama, tapi semua telah telanjur. Sugali hanya berkali-kali
mengucapkan maaf sambil berjanji tidak akan membawa kami dalam
kesulitan. Dia memohon agar Ibu mau meminjamkan sedikit uang padanya
lalu dapat pergi malam itu juga. Dia memang tertangkap pada akhirnya,
jauh di kota lain karena peluru yang masih tertinggal di paha kanannya
ternyata membuatnya demam tinggi berhari-hari dan memperlambat gerak
pelariannya.
Lewat beberapa tahun kemudian, namanya
justru semakin berkibar di dunia hitam. Pengalaman keluar masuk bui,
semakin membuatnya mempunyai banyak kawan yang kemudian di belakang hari
digalangnya untuk membentuk kelompok kejahatan baru yang sangat
berbahaya. Mereka komplotan yang tidak segan-segan membunuh untuk
mendapatkan bayaran, bahkan menggarong menggunakan senjata api. Kerja
mereka pun sangat rapi hingga polisi selalu kesulitan untuk memburu
jejak dalam usaha menangkap mereka. Makin besarlah namanya. Makin
ditakuti sepak terjangnya karena kehebatan dan kesadisannya.
Muncul cerita-cerita tentangnya, ada
yang mendekati benar, ada yang sangat mengada-ada. Seperti misalnya yang
mengatakan bahwa Sugali adalah garong sakti, berani dan tidak bisa
mati. Suara senapan hanya dianggap petasan. Tiada rasa ketakutan karena dia punya ilmu kebal senapan. Tak ada yang mampu melawannya, polisi paling jagoan dengan persenjataan lengkap sekalipun akan takluk.
Dengan cerita mengenai dirinya yang simpang-siur, Sugali toh tidak merasa terganggu. Semakin lupa daratan dan foya-foya saja kerjanya. Hampir setiap malam Sugali dan kawan-kawan garongnya itu bersukaria. Menyanyi dan menari di lokasi WTS kelas teri. Asyik lembur sampai pagi, joget sampai lecet dan mabuk-mabukan memuaskan kehausan mereka akan dosa.
Mulut pamanku itu pastilah tiada henti tertawa dan melontarkan
kata-kata kotor seperti penjahat murahan yang lancang menantang langit
sembari tangannya genit kitik cewek binal paling buset yang cekikikan, sibuk menguras uang dari kantongnya. Begitulah, usai garong langsung hambur uang. Hasil kerja haram dipakai untuk yang haram. Peduli setan!
Ah, Sugali pamanku, ramai sudah orang bergunjing tentang dirinya yang tak juga hinggap rasa jemu. Ironis,
atas pertolongannya aku mampu mapan dalam kehidupan, tapi dia justru
tetap berkutat dengan jalan suram yang dipilihnya, sesuram hari depannya …
Aku tahu, di dalam hatinya yang mengeras, pastilah ada rasa was-was
yang sayangnya tidak membuatnya wawas, karena semakin lama pergerakan
komplotannya telah jadi semakin sempit akibat kegigihan polisi yang
selalu memburu mereka. Tapi Sugali malahan semakin jumawa dan bermata beringas menantang, seakan-akan menunggu datang peluru yang panas, kelak di waktu hari nahas.
Aku yakin itu, karena menurutku cerita tentang kekebalannya hanyalah
omong kosong belaka. Aku pernah jadi saksi bahwa dia bukanlah manusia
setengah dewa. Buktinya, pelor pernah bersarang di paha kanannya. Dia
hanya manusia biasa, utuh penuh. Mulut orang saja yang membuatnya
terkesan hebat.
Sampai pada suatu ketika, polisi yang
mengetahui keberadaan Sugali bersama komplotannya melakukan penyergapan
secara mendadak dan rahasia. Tindakan yang tepat untuk meminimalisasi
kemungkinan kebocoran informasi karena kenyataan bahwa mereka sangat
sulit disergap. Sebagian hatiku sangat ingin dia tertangkap, tapi
sebagian hatiku yang lain mengkhawatirkan nyawanya. Hanya ada dua
pilihan yang sama-sama mengerikan, mati atau tertangkap. Tapi tentu saja
dia tidak akan mau tertangkap, mempertahankan diri sampai mati adalah
pilihannya, aku yakin itu.
Maka terjadilah tembak-menembak yang
sengit di dini hari itu ketika komplotan raja tega Sugali tengah lengah
berpesta merayakan keberhasilan mereka menggarong sebuah bank dan
menewaskan seorang polisi yang tengah berjaga. Polisi berhasil mendesak
komplotan itu dan mengatasi krisis dalam waktu 3 jam. Beberapa orang di
pihak polisi terluka, tapi seluruh anggota komplotan tewas tertembak.
Hanya Sugali yang tidak ditemukan. Orang-orang kemudian jadi bebas
membuat cerita baru: kesaktian Sugali membuatnya lolos dari maut, tapi
kini dia ciut lalu bersembunyi ketakutan.
Saat aku bertemu dengannya di tempat rahasia, beberapa hari setelah penggerebekan itu, senyumnya senyum orang kalah.
“Entah harus berterimakasih atau memakimu,” dia berkata.
“Yang penting kau selamat.”
“Jika boleh memilih, aku malah ingin mati bersama mereka.”
“Jangan. Aku, Ibu dan adik-adik masih banyak berhutang padamu. Jika kau mati, tak ada lagi kesempatan kami membalasnya.”
“Seharusnya aku ada di sana,” katanya
menyesali diri. Lalu tangannya meraih pistol dari balik jaketnya,
mengarahkannya ke kepalaku, “Jika menuruti nafsu, aku bisa membunuhmu
sekarang.”
“Untuk apa?”
“Untuk kawan-kawanku.”
“Tidak perlu menyusahkan dirimu. Mereka toh sampah masyarakat.”
“Aku pun sampah.”
“Tapi kau adik bapakku. Tentu saja aku tidak mau melihatmu konyol.”
Rahangnya mengeras.
“Jadi maumu apa?”
“Sebaiknya serahkan dirimu. Bertahan
dengan keadaanmu sekarang hanya sesuatu yang percuma karena ruang
gerakmu semakin sempit. Ditambah imbalan tukar informasi tentang
komplotan-komplotan sejenis yang jelas kau tahu, hukumanmu bisa lebih
ringan. Setidaknya bukan hukuman mati.”
Sugali meludah, “Jika kau tidak
memintaku untuk menemuimu di malam penyergapan itu, yang ternyata hanya
akal-akalanmu, bukankah seharusnya aku berada bersama kawan-kawanku dan
sudah tertangkap atau bahkan mati seperti mereka?”
“Tidak ada pilihan lagi. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”
“Seharusnya kau biarkan aku mati saja bersama mereka. Sampai kapanpun aku tidak akan mau menyerahkan diri!”
Sudah kuduga kata-kata itu akan muncul.
Di malam peyergapan itu, aku memang sengaja mengundangnya ke suatu
tempat, hanya untuk menjauhkannya dari maut. Aku memang ingin melihatnya
selamat dan tetap hidup, baik tertangkap atau tetap buron, walaupun itu
mengingkari tugas polisi semacamku. Itu saja. Untuk menyelamatkannya
seorang diri aku masih mampu, tapi tidak untuk seluruh anggota
komplotannya.
“Jika begitu, lari dan sembunyilah!
Biarkan saja orang-orang membicarakan ketakutanmu dalam persembunyian
seperti seorang pengecut, asal bukan kematianmu!”
Pistolnya meletus di akhir kata-kataku.
Bukan diarahkan padaku karena tangannya terangkat dan peluru melesat ke
udara. Lalu seperti sebuah adegan melodrama yang membuatku menangis,
tanpa mengatakan apapun lagi dia melontarkan pistolnya jauh-jauh dan
pergi begitu saja.
Itulah Sugali, seorang lelaki yang
menjadi buronan polisi nomer satu. Dia adalah pamanku, adalah adik
bapakku. Seorang yang selama ini justru kulindungi dengan wewenangku
karena mengingat budinya yang besar di masa lalu.
Entah kemana perginya, tidak pernah lagi aku mendengar namanya sejak pertemuan kami yang terakhir di malam itu.
O, bisik jangkrik di tengah malam tenggelam dalam suara letusan
Kata berita di mana-mana tentang Sugali tak tenang lagi dan lari sembunyi …
Cigugur, 26 Maret 2012
- dikembangkan dari sebuah lagu karya Iwan Fals, “Sugali”.
- Kata dan kalimat yang
tercetak miring diambil dari syair lagu aslinya dengan sedikit perubahan
di beberapa kata untuk menyesuaikan dengan konteks kalimat pada cerita.
Sugali : Oleh A K Basuki
Sugali : Oleh A K Basuki